KtHx54QkBr383xDR2xK8jWF4FPsDN0wkvFCwXh9V
Bookmark

Pesantren: Antara Sekolah Ilmu dan Sekolah Peradaban

Pesantren: Antara Sekolah Ilmu dan Sekolah Peradaban

Oleh: Muhammad Muhajir 

Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang lahir dari denyut kehidupan masyarakat, bukan dari rancangan sistem birokrasi modern. Namun, di tengah arus perubahan pendidikan yang kian pragmatis, kita perlu kembali merenungkan: apakah pesantren masih berfungsi sebagai sekolah peradaban, ataukah kini bergeser menjadi sekadar lembaga pengajaran formal seperti sekolah-sekolah pada umumnya?

Sejak awal, pesantren bukan hanya tempat menimba ilmu agama, tetapi juga arena pembentukan karakter dan penempaan jiwa. Di sana, santri belajar bukan hanya dari kitab, tetapi dari kehidupan itu sendiri—bangun sebelum subuh, membersihkan kamar, mencuci pakaian, melayani sesama, dan mengatur waktu dengan disiplin. Aktivitas sederhana ini melatih daya tahan, kemandirian, dan tanggung jawab. Nilai-nilai inilah yang sulit ditemukan di lembaga pendidikan umum, yang sering kali lebih menekankan hasil akademik daripada proses pembentukan diri.

Namun, fenomena yang kini muncul patut dikritisi. Banyak pesantren modern—dengan dalih kenyamanan dan efisiensi—menyediakan segala fasilitas yang membuat santri serba dilayani. Makanan disiapkan, pakaian dicuci, kamar dibersihkan oleh petugas. Santri cukup fokus belajar. Sekilas tampak ideal, tapi sesungguhnya ada sesuatu yang hilang: ruang belajar kehidupan. Pesantren yang dahulu menjadi laboratorium kemandirian kini berpotensi berubah menjadi “asrama akademik” yang steril dari dinamika perjuangan diri.

Padahal, di balik perannya sebagai lembaga pendidikan agama, pesantren memiliki posisi strategis dalam pembangunan bangsa. Pesantren berpotensi besar melahirkan generasi moderat—yakni generasi yang memahami agama secara mendalam namun tetap toleran, terbuka terhadap perbedaan, dan mampu menjadi perekat sosial di tengah masyarakat yang majemuk. Di saat dunia menghadapi polarisasi dan ekstremisme, pesantren justru hadir sebagai ruang pembelajaran harmoni dan dialog.

Lebih dari itu, pesantren juga dapat menjadi inkubator wirausaha (entrepreneurship). Santri yang terbiasa hidup sederhana, mandiri, dan kreatif sejatinya memiliki modal sosial yang kuat untuk menjadi pelaku ekonomi kerakyatan. Banyak pesantren kini mulai mengembangkan unit usaha, koperasi, dan pelatihan kewirausahaan yang mengajarkan nilai kerja keras sekaligus kemandirian ekonomi. Dengan demikian, pesantren bukan hanya mencetak ulama dan intelektual, tetapi juga melahirkan generasi sociopreneur yang membawa nilai moral dalam praktik bisnis.

Selain itu, pesantren juga berfungsi sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat. Ia hadir di tengah rakyat, menjadi bagian dari denyut kehidupan sosial dan ekonomi. Dari pesantren, lahir gerakan literasi, pendidikan nonformal, pelatihan keterampilan, hingga program kemanusiaan. Dalam konteks ini, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan agen transformasi sosial yang memperkuat ketahanan komunitas dari akar rumput.

Namun demikian, berpegang pada prinsip al-Muhafazhah ‘ala al-Qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadidi al-Ashlah—memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik—tidak berarti pesantren harus menolak perubahan. Justru prinsip ini menunjukkan bahwa pesantren memiliki landasan teologis dan epistemologis untuk terus beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan ruhnya. Pembaruan kurikulum, penggunaan teknologi digital, penguatan manajemen, hingga kolaborasi dengan dunia industri dan masyarakat global bukanlah bentuk pengkhianatan terhadap tradisi, melainkan wujud ijtihad pendidikan agar pesantren tetap relevan dan berdaya guna.

Tantangan bagi para kiai, ustaz, dan pengelola pesantren kini adalah menjaga keseimbangan antara tradisi dan inovasi, antara nilai dan kemajuan. Santri tidak hanya perlu cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh secara moral, sosial, dan spiritual. Jika pesantren mampu mempertahankan jati dirinya sambil terus memperbarui cara, maka ia akan tetap menjadi sekolah peradaban—tempat lahirnya generasi yang beriman, moderat, mandiri, berjiwa wirausaha, dan siap memimpin masa depan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketauhidan. 


Posting Komentar

Posting Komentar