KtHx54QkBr383xDR2xK8jWF4FPsDN0wkvFCwXh9V
Bookmark

Kisruh Otoritas Agama di Era Digital: Siapa Sebenarnya yang Berkuasa di Ruang Publik Indonesia?

Otoritas Agama di Ruang Publik Indonesia
foto: pexels.com

Oleh: Lukmanul Hakim*

Ruang publik Indonesia kini menjadi panggung bagi ribuan suara keagamaan yang bersaing merebut perhatian. Dari masjid, layar televisi, hingga ponsel di genggaman, pesan-pesan agama mengalir deras tanpa henti. Namun, di balik keramaian itu, muncul pertanyaan mendasar: siapa sebenarnya yang berwenang mengatur dan memastikan komunikasi keagamaan berjalan damai dan tertib?

Di negara yang plural dan demokratis seperti Indonesia, komunikasi keagamaan bukan sekadar urusan dakwah. Ia menjadi instrumen pembentuk opini, penyejuk konflik, hingga penentu arah moral publik. Namun, ketika terlalu banyak lembaga terlibat tanpa koordinasi yang jelas, yang terjadi justru kekacauan otoritas. Kementerian Agama, Kominfo, KPI, hingga MUI—semua punya peran, tetapi batas kewenangan mereka sering kabur dan tumpang tindih.

Fenomena ini dikenal sebagai fragmentasi otoritas kebijakan. Banyak institusi mengklaim kewenangan yang sama tanpa integrasi, sehingga kebijakan kerap saling bertabrakan dan membingungkan masyarakat. Misalnya, Kominfo dapat memblokir situs dakwah tanpa validasi dari MUI atau Kemenag, memicu kontroversi dan protes publik. Fragmentasi ini juga diperparah oleh kemunculan ustaz-ustaz baru di media sosial yang memiliki pengaruh besar tanpa harus melalui jalur pendidikan agama tradisional, yang menggeser otoritas ulama lokal

Bandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, di mana otoritas keagamaan lebih terpusat dan terstruktur. Di Malaysia, Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) memegang mandat jelas dalam mengatur konten dakwah. Sementara di Singapura, Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) menjadi otoritas tunggal. Model sentralistik ini memang tidak sempurna, namun memberi kejelasan regulasi dan jalur komando yang tegas.

Indonesia memilih jalur plural dan deliberatif. Kolaborasi antar-lembaga diharapkan menjadi kekuatan, tapi dalam praktiknya sering berubah menjadi arena tarik-menarik kepentingan. Setiap institusi berjalan dengan visi dan kerangka hukum masing-masing, sehingga kebijakan yang lahir sering tidak sinkron, bahkan kontradiktif.

Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa media sosial seperti YouTube dan Instagram telah menjadi arena perebutan otoritas keagamaan yang sangat dinamis dan terfragmentasi. Ustaz-ustaz populer di media sosial sering mewakili kelompok ideologi tertentu, yang menyebabkan polarisasi di kalangan umat Islam. Pergeseran ini juga menandai demokratisasi pengetahuan agama yang membuat otoritas keagamaan semakin terdesentralisasi.

Dari perspektif tata kelola kebijakan, fragmentasi ini mencerminkan lemahnya integrasi kebijakan (policy integration). Setiap lembaga berjalan sendiri, sehingga yang muncul bukan keteraturan, melainkan disonansi kebijakan. Hal ini memperlemah kepercayaan publik terhadap institusi negara dan otoritas keagamaan.

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) hanya bersifat konsultatif, tanpa kapasitas eksekutif. MUI memiliki otoritas moral, namun tak punya kekuatan legal formal di ruang digital. Sementara Kominfo dan KPI seringkali tidak memahami substansi keagamaan secara mendalam. Akibatnya, kebijakan yang diambil kerap menimbulkan kegaduhan baru di Masyarakat.

Fragmentasi otoritas ini bisa diklasifikasikan menjadi tiga: kelembagaan, regulatif, dan sektoral. Fragmentasi kelembagaan tampak dari banyaknya lembaga yang memegang sebagian kewenangan tanpa koordinasi yang jelas. Regulasi pun tersebar di banyak aturan yang berdiri sendiri, sehingga pelaku dakwah sering kebingungan menentukan batas aman berekspresi.

Fragmentasi sektoral semakin rumit karena komunikasi keagamaan kini berlangsung di berbagai platform: masjid, televisi, YouTube, TikTok, dan lainnya. Setiap platform diawasi otoritas berbeda, dengan standar yang tidak selalu seragam. Seorang penceramah bisa “aman” di masjid, tapi “bermasalah” di media sosial, tergantung aturan yang berlaku di masing-masing ranah.

Transformasi digital mempercepat dinamika ini. Negara dan otoritas keagamaan sering tertinggal merespons perkembangan konten keagamaan di dunia maya. Akibatnya, ruang komunikasi digital kerap dimanfaatkan kelompok ekstrem untuk menyebar narasi kebencian, sementara negara hanya bisa merespons secara reaktif, bukan preventif.

Dampak fragmentasi sangat nyata di lapangan. Ketidakjelasan batas kebebasan berekspresi membuat penceramah dan tokoh agama rentan dikriminalisasi atau diberi label negatif, hanya karena perbedaan tafsir atau gaya komunikasi. Kasus pemblokiran akun media sosial ulama tertentu, misalnya, sering terjadi tanpa mekanisme klarifikasi yang adil.

Di sisi lain, ketidakpastian ini membuka peluang politisasi agama. Ketika tidak ada otoritas tunggal yang menjaga integritas komunikasi keagamaan, ruang publik menjadi ajang perebutan pengaruh, bahkan alat mobilisasi politik identitas. Fenomena ini menjadi perhatian banyak peneliti yang menyoroti bahaya politisasi agama di era digital.

Solusi tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan legalistik. Diperlukan regulasi yang adaptif, responsif terhadap dinamika masyarakat, dan cepat berkoordinasi lintas lembaga. Negara harus menjadi fasilitator nilai toleransi dan moderasi, bukan sekadar pengatur teknis komunikasi. Penguatan integrasi kebijakan adalah tuntutan etis dan sosiologis, bukan sekadar administratif.

Indonesia kini berada di persimpangan jalan: apakah fragmentasi otoritas akan dibiarkan menjadi sumber konflik, atau justru diurai menjadi kekuatan kolaborasi? Jawabannya terletak pada kesadaran kolektif seluruh aktor, bahwa harmoni sosial dan masa depan demokrasi digital hanya bisa dijaga jika tata kelola komunikasi keagamaan dibangun di atas fondasi integrasi, transparansi, dan keadilan bagi semua.

*Mahasiswa Pascasarjana IAIN Pontianak

 

Posting Komentar

Posting Komentar