Review Film Pangku (2025): Ketika Komunikasi Nonverbal menjadi Kalimat Paling Panjang
![]() |
| Poster Film PANGKU. (net) |
PANGKU (2025), film panjang debut sutradara dan penulis naskah Reza Rahadian, adalah sebuah karya sinema yang lebih dari sekadar tontonan; ia adalah studi komunikasi yang menghanyutkan.
Mengangkat kisah Sartika (Claresta Taufan), seorang ibu tunggal yang terperosok dalam kerasnya kehidupan "kopi pangku" di jalur Pantura, film ini membuktikan bahwa komunikasi yang paling mendalam seringkali bukan berasal dari kata-kata.
Justru, komunikasi nonverbal menjadi kalimat paling Panjang!
Dialog Hening, Pesan yang Menggema
Dari sudut pandang komunikasi, PANGKU adalah anomali yang memukau. Film ini minim dialog, sebuah keputusan artistik yang sangat berani dan efektif.
Sebagaimana disoroti oleh banyak reviewer, Reza Rahadian berhasil membawa pesan yang begitu banyak—tentang isu gender, ekonomi berbasis gender, perjuangan kaum marjinal, hingga ketimpangan sosial—dengan barisan kalimat yang sangat sedikit tapi efektif.
Komunikasi dalam film ini sepenuhnya didukung oleh elemen-elemen nonverbal.
Akting Claresta Taufan (Sartika) dan Christine Hakim (Maya) benar-benar natural. Tatapan mata, gestur tubuh, dan keheningan mereka adalah narator utama. Ekspresi pemain yang 'sangat OK' ini menjadi jembatan empati.
Kita merasakan dilema, pengorbanan, dan cinta seorang ibu tanpa perlu narasi yang berlebihan. Ini adalah komunikasi emosional murni yang melintasi batasan bahasa.
Pengambilan gambar di Pantura, terutama pada malam hari, menciptakan nuansa yang sunyi namun mencekam. Warna-warna gelap dan pencahayaan yang intim bukan hanya estetika, tetapi juga saluran komunikasi suasana hati. Suasana ini "berbicara" tentang keputusasaan, isolasi, dan kerasnya realitas.
Reza Rahadian, yang dikenal perfeksionis, sukses menuangkan detail kehidupan Pantura yang sempurna, mulai dari kostum hingga setting warung. Detail ini menjadi kode kultural yang kuat, membuat penonton yang relate dengan latar belakang Pantura merasa benar-benar terhubung.
Alur Lambat yang Menantang Kesabaran, Namun Penting
Sebagai penonton awam yang terbiasa dengan film bergenre plot-twist atau horor yang intens, mungkin alur film ini terasa lambat. PANGKU mungkin terlalu realistis bagi penonton yang menyukai spektrum dinamis yang intens.
Ini adalah pedang bermata dua dalam komunikasi.
Sisi positifnya, alur yang landai dan statis ini memberikan ruang bernapas bagi pesan untuk meresap. Kelambatan ini memaksa kita untuk fokus pada komunikasi non-verbal dan merenungkan setiap ekspresi serta detail visual. Proses ini membuat pesan sosial tentang perjuangan ibu tunggal lebih menghunjam dan berkesan di akhir.
Sisi negatifnya, di pertengahan film, ada momen ketika kesabaran diuji. Alur yang lambat ini berpotensi membuat sebagian penonton yang mencari hiburan cepat teralihkan atau bahkan bosan. Kehadiran karakter Yuna (Nazyra C. Noer) yang jenaka, meski sayang porsinya sedikit, sangat membantu dalam menyeimbangkan nuansa cerita yang landai ini.
Namun, menilik inspirasi film ini yang bermula dari realita yang Reza lihat langsung—seorang anak tidur di bilik yang sama tempat ibunya melayani tamu—maka alur yang lambat ini terasa sebagai sebuah kejujuran dan penghormatan terhadap beratnya perjalanan Sartika, bukan sekadar gaya-gayaan sinema.
Sebuah "Surat Cinta" yang Universal
PANGKU bukan hanya kisah lokal tentang "kopi pangku," tetapi pesan universal tentang cinta seorang ibu dan perjuangan seorang wanita. Reza Rahadian sendiri mengakui film ini adalah persembahan khusus untuk sang ibu tunggal yang membesarkannya.
Kesuksesan film ini meraih penghargaan di kancah internasional (Busan International Film Festival), menegaskan bahwa komunikasi berbasis empati dan isu sosial yang kuat mampu berbicara di kancah global.
Musik, terutama lagu Rayuan Perempuan Gila oleh Nadin Amizah, berfungsi sebagai penghubung emosi yang sempurna, memberikan rumah bagi cerita dan lirik yang hangat. Lalu ditutup dengan lagu fenomenal Ibu oleh Iwan Fals sangat menggambarkan perjuangan tokoh utama, Sartika.
Secara keseluruhan, PANGKU adalah kelas master dalam komunikasi nonverbal. Sebuah film yang visceral (melibatkan indra dan perasaan), di mana setiap adegan, warna, dan heningnya adalah kata-kata yang dirangkai. Ia adalah standar tinggi yang telah ditetapkan Reza Rahadian untuk sinema modern Indonesia. (Lk)
