Ilustrasi/GPT |
Kring ... kring ... kring ... Bunyi bel setelah azan berkumandang sebagai tanda kegiatan subuh berjamaah di pesantren Assalam.
"Allahu Akbar, Allahu Akbar ... Asyhadu Alla Ilaha Illallah
... Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah ..." Iqomah terlantun dari salah
satu jamaah santri putri shaf depan kanan.
Nyai Khodijah memasuki majelis lalu menyuruhku untuk menjadi imam
sholat. Aku pun maju kedepan memenuhi amanahku. Setelah sholat subuh,
kegiatanpun diisi dengan wirid atau dzikir-dzikir kepada Allah SWT. Alangkah
tenang hati ini walau terasa mata mengantuk di waktu langit yang masih abu-abu
kelabu sembari menunggu fajar menyingsing hingga sempurna nanti. Inilah
ketenangan mengingat Allah, Allah berfirman dalam surah ar-Ra'du ayat 28 yang
artinya. "Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram."
Setelah kegiatan wirid, Nyai maju kedepan kami dan mengambil
pengeras suara.
"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh ..."
"Waalaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh ...." jawab
para santri putri hampir bersamaan.
"Anak-anakku yang dirahmati Allah ..." ujar Nyai dengan
khas suara beliau yang bijak dan lembut. "Satu pekan lagi umat muslim akan
melaksanakan puasa di bulan suci Ramadhan. Maka dari itu sesuai dengan
keputusan. Hari libur kami tetapkan mulai lusa," jelas beliau.
Terdengar suara santri yang mengucapkan alhamdulillah, wajah mereka
bersinar-sinar bahagia saling menatap sedangkan aku tertunduk mengingat keadaan
rumah yang sudah tak seperti sabda Nabi. "Rumahku Syurgaku."
Setelah pengumuman itu para santri dibubarkan untuk melanjutkan
aktivitas pagi. Aku sebagai abdi dhalem bersama sahabatku Yana dan beberapa
santri yang lain langsung melaksanakan tugas. Kebetulan aku abdi bagian memasak
bersama Yana. Oh ya, sebutan abdi Dhalem adalah term dipesantren jawa untuk
para santri yang mengabdi atau berkhitmat di rumah Kiyai.
"Mbak Haura saya minta kecap," pinta seseorang di
belakangku lalu Yana menyenggol tanganku agar melayani permintaan tersebut.
Pikirku mungkin itu Mas Rozak abdi dhalem dari santri putra. Aku meraih kecap
botol yang berada satu wadah dengan bumbu-bumbu dapur yang lainya.
"Ini Mas." Aku membalikan badan sembari menyodorkan kecap
itu. Tiba-tiba rasa tertegun menyelimutiku ketika melihat tubuh yang tegap dan
dada yang bidang berbaju putih rapi dan bersih.
"Pasti ini Gus Yusuf." batinku diliputi iba dan takut
lalu aku memberanikan diri mengangkat wajah untuk melihat pria dihadapanku dan
ternyata ... itu benar!
"Astaghfirullah ... maaf Gus, saya ndak tau kalau jenengan
tadi." aku menundukan pandanganku sembari menelungkupkan tangan.
"Uhuk ... uhuk ... hihi." terdengar Yana terkekeh kecil.
"Iya Mbak Haura, tidak apa-apa," ujarnya sopan.
"Nak Haura Qurrata 'ayun," panggil Nyai Khodijah sembari
memasuki dapur.
"Hadir Nyai," jawabku pelan sembari mendekat dihadapan
beliau dengan badan yang sedikit membungkuk.
"Itu Ibu kamu sudah datang mau jemput kamu pulang. Siap - siap
gih."
"Tapi Nyai, bukannya pulangan hari lusa."
"Khusus buat kamu tidak masalah ... toh masih ada Yana
disini," tukas Nyai sembari tersenyum.
Nyai dan Gus Yusuf pun beranjak dari dapur. Aku melihat Yana sambil
tersenyum. Ia langsung terdiam perlahan bibirnya menjadi maju mengkerut karena
cemberut.
"Maaf aku pulang dulu ya ..."
"Kamu baik-baik ya ... harus jaga kesehatan dan jangan
memendam masalah sendiri." Mimik wajah Yana sedih dan matanya
berkaca-kaca.
"Siap, Insyaa Allah." aku tersenyum ceria sembari mengusap bahu Yana.
Siapa yang tau bahwa aku yang di pandang sempurna dengan wajah yang
dikagumi banyak orang, berkulit kuning langsat, mata yang bulat indah, bibir
yang merah delima serta tubuh yang tinggi semampai dan harta kekayaan yang
cukup. Ternyata memiliki ketidak sempurnaan dalam diri dan keluarga yang nyaris
tidak bahagia.
Selama diperjalanan Ibu tidak banyak berbicara, cahaya matanya
surut. Ibu mengeluarkan kertas dari tasnya dan memberikannya padaku. Aku meraih
dan membaca surat itu.
"Surat Cerai!" Guman ku. Jiwaku meronta, dan aku tak
berani bersuara karena ada sopir yang sedang mengemudi mobil kami. Bagaimanapun
masalah keluarga adalah aib yang tak layak diketahui orang lain.
Entah apa yang merasuki ayahku semenjak kepergiannya ke Turki
setelah hari raya tahun lalu ia mulai tertarik kepada perempuan lain yakni
rekan kerjannya sendiri. Ayah mengolah bisnis dagangnya disana selama
bertahun-tahun. Ia bekerja keras mencukupi kami dan memberi kami uang yang
banyak akan tetapi semua itu tak membuat kami bahagia.
Setelah dua jam perjalanan kami sampai dirumah. Aku dan ibu duduk
di shofa lalu aku menaruh surat cerai itu diatas meja.
"Ibu jangan tanda tangani surat ini ya," ucapku pelan.
"Ya ... gimana Haura, Ayah mau kami cerai! ... dia juga sudah
mentalak ibu kemarin." Ibu segugukan.
"Ya Allah, Talak berapa Bu?"
"Hiks talak dua." Ibu meraih tisu diatas meja dan
mengelap air matannya.
Hancur perasaanku melihat kesedihan ibu. Aku segera menggenggam
tangannya dan berkata,"Ibu yang tenang dan sabar ya ... Haura akan bantu
ibu menyelesaikan masalah ini, in syaa Allah ... Ibu jangan lelah berdoa
ya." aku menatap matanya dan berusaha tersenyum. Seketika Ibu langsung
menarik tubuhku dan menangis tersedu sedan. Hp Ibu berdering. Ku lihat layar hp
yang menyala, ternyata telfon dari ayah.
"Assalamu'alaikum Ayah ..." ucapku setelah mengangkat
telfon.
"Waalaikumsalam Sayang ... loh kapan pulang?" tanya ayah.
"Baru saja pulang, " jawabku.
"Oh iya Yah ... pekan depan kita udah puasa Ramadhan loh ...
Ayah pulangkan?"
"Hmmm ... gimana ya ... Ayah disini sangat sibuk."
"Hm Ayah kan selalu ramadhan di Indonesia. Masak nggak pulang?
entar nyesel nggak bisa ketemu Haura putri Ayah yang tersayang dan tercinta ini
hihihi," kataku sok ceria.
"Husss ... jangan ngomong gitu. Iya iya ... besok ayah pesan
tiket pulang."
"Yes! asiap Ayah," balasku semangat empat lima.
"Ya sudah ayah lanjut kerja dulu ya," ucap ayah lalu
mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh."
Bersambung ke Part 3
Posting Komentar