KtHx54QkBr383xDR2xK8jWF4FPsDN0wkvFCwXh9V
Bookmark

Terimakasih Dikau Hadir - Cerpen Ummu Karromah - Part 2

Ilustrasi/GPT
Oleh: Ummu Karromah

Kring ... kring ... kring ... Bunyi bel setelah azan berkumandang sebagai tanda kegiatan subuh berjamaah di pesantren Assalam.

"Allahu Akbar, Allahu Akbar ... Asyhadu Alla Ilaha Illallah ... Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah ..." Iqomah terlantun dari salah satu jamaah santri putri shaf depan kanan.

Nyai Khodijah memasuki majelis lalu menyuruhku untuk menjadi imam sholat. Aku pun maju kedepan memenuhi amanahku. Setelah sholat subuh, kegiatanpun diisi dengan wirid atau dzikir-dzikir kepada Allah SWT. Alangkah tenang hati ini walau terasa mata mengantuk di waktu langit yang masih abu-abu kelabu sembari menunggu fajar menyingsing hingga sempurna nanti. Inilah ketenangan mengingat Allah, Allah berfirman dalam surah ar-Ra'du ayat 28 yang artinya. "Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram."

Setelah kegiatan wirid, Nyai maju kedepan kami dan mengambil pengeras suara.

"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh ..."

"Waalaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh ...." jawab para santri putri hampir bersamaan.

"Anak-anakku yang dirahmati Allah ..." ujar Nyai dengan khas suara beliau yang bijak dan lembut. "Satu pekan lagi umat muslim akan melaksanakan puasa di bulan suci Ramadhan. Maka dari itu sesuai dengan keputusan. Hari libur kami tetapkan mulai lusa," jelas beliau.

Terdengar suara santri yang mengucapkan alhamdulillah, wajah mereka bersinar-sinar bahagia saling menatap sedangkan aku tertunduk mengingat keadaan rumah yang sudah tak seperti sabda Nabi. "Rumahku Syurgaku."

Setelah pengumuman itu para santri dibubarkan untuk melanjutkan aktivitas pagi. Aku sebagai abdi dhalem bersama sahabatku Yana dan beberapa santri yang lain langsung melaksanakan tugas. Kebetulan aku abdi bagian memasak bersama Yana. Oh ya, sebutan abdi Dhalem adalah term dipesantren jawa untuk para santri yang mengabdi atau berkhitmat di rumah Kiyai.

"Mbak Haura saya minta kecap," pinta seseorang di belakangku lalu Yana menyenggol tanganku agar melayani permintaan tersebut. Pikirku mungkin itu Mas Rozak abdi dhalem dari santri putra. Aku meraih kecap botol yang berada satu wadah dengan bumbu-bumbu dapur yang lainya.

"Ini Mas." Aku membalikan badan sembari menyodorkan kecap itu. Tiba-tiba rasa tertegun menyelimutiku ketika melihat tubuh yang tegap dan dada yang bidang berbaju putih rapi dan bersih.

"Pasti ini Gus Yusuf." batinku diliputi iba dan takut lalu aku memberanikan diri mengangkat wajah untuk melihat pria dihadapanku dan ternyata ... itu benar!

"Astaghfirullah ... maaf Gus, saya ndak tau kalau jenengan tadi." aku menundukan pandanganku sembari menelungkupkan tangan.

"Uhuk ... uhuk ... hihi." terdengar Yana terkekeh kecil.

"Iya Mbak Haura, tidak apa-apa," ujarnya sopan.

"Nak Haura Qurrata 'ayun," panggil Nyai Khodijah sembari memasuki dapur.

"Hadir Nyai," jawabku pelan sembari mendekat dihadapan beliau dengan badan yang sedikit membungkuk.

"Itu Ibu kamu sudah datang mau jemput kamu pulang. Siap - siap gih."

"Tapi Nyai, bukannya pulangan hari lusa."

"Khusus buat kamu tidak masalah ... toh masih ada Yana disini," tukas Nyai sembari tersenyum.

Nyai dan Gus Yusuf pun beranjak dari dapur. Aku melihat Yana sambil tersenyum. Ia langsung terdiam perlahan bibirnya menjadi maju mengkerut karena cemberut.

"Maaf aku pulang dulu ya ..."

"Kamu baik-baik ya ... harus jaga kesehatan dan jangan memendam masalah sendiri." Mimik wajah Yana sedih dan matanya berkaca-kaca.

"Siap, Insyaa Allah." aku tersenyum ceria sembari mengusap bahu Yana.

Siapa yang tau bahwa aku yang di pandang sempurna dengan wajah yang dikagumi banyak orang, berkulit kuning langsat, mata yang bulat indah, bibir yang merah delima serta tubuh yang tinggi semampai dan harta kekayaan yang cukup. Ternyata memiliki ketidak sempurnaan dalam diri dan keluarga yang nyaris tidak bahagia.

Selama diperjalanan Ibu tidak banyak berbicara, cahaya matanya surut. Ibu mengeluarkan kertas dari tasnya dan memberikannya padaku. Aku meraih dan membaca surat itu.

"Surat Cerai!" Guman ku. Jiwaku meronta, dan aku tak berani bersuara karena ada sopir yang sedang mengemudi mobil kami. Bagaimanapun masalah keluarga adalah aib yang tak layak diketahui orang lain.

Entah apa yang merasuki ayahku semenjak kepergiannya ke Turki setelah hari raya tahun lalu ia mulai tertarik kepada perempuan lain yakni rekan kerjannya sendiri. Ayah mengolah bisnis dagangnya disana selama bertahun-tahun. Ia bekerja keras mencukupi kami dan memberi kami uang yang banyak akan tetapi semua itu tak membuat kami bahagia.

Setelah dua jam perjalanan kami sampai dirumah. Aku dan ibu duduk di shofa lalu aku menaruh surat cerai itu diatas meja.

"Ibu jangan tanda tangani surat ini ya," ucapku pelan.

"Ya ... gimana Haura, Ayah mau kami cerai! ... dia juga sudah mentalak ibu kemarin." Ibu segugukan.

"Ya Allah, Talak berapa Bu?"

"Hiks talak dua." Ibu meraih tisu diatas meja dan mengelap air matannya.

Hancur perasaanku melihat kesedihan ibu. Aku segera menggenggam tangannya dan berkata,"Ibu yang tenang dan sabar ya ... Haura akan bantu ibu menyelesaikan masalah ini, in syaa Allah ... Ibu jangan lelah berdoa ya." aku menatap matanya dan berusaha tersenyum. Seketika Ibu langsung menarik tubuhku dan menangis tersedu sedan. Hp Ibu berdering. Ku lihat layar hp yang menyala, ternyata telfon dari ayah.

"Assalamu'alaikum Ayah ..." ucapku setelah mengangkat telfon.

"Waalaikumsalam Sayang ... loh kapan pulang?" tanya ayah.

"Baru saja pulang, " jawabku.

"Oh iya Yah ... pekan depan kita udah puasa Ramadhan loh ... Ayah pulangkan?"

"Hmmm ... gimana ya ... Ayah disini sangat sibuk."

"Hm Ayah kan selalu ramadhan di Indonesia. Masak nggak pulang? entar nyesel nggak bisa ketemu Haura putri Ayah yang tersayang dan tercinta ini hihihi," kataku sok ceria.

"Husss ... jangan ngomong gitu. Iya iya ... besok ayah pesan tiket pulang."

"Yes! asiap Ayah," balasku semangat empat lima.

"Ya sudah ayah lanjut kerja dulu ya," ucap ayah lalu mengucapkan salam.

"Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh."


Bersambung ke Part 3


Posting Komentar

Posting Komentar